Senja

Semoga benar ini adalah katarsis, bukan pembenaran agar tidak lagi dirimu menangis. Semoga benar ini adalah bukti, atas janji yang kucoba tuk tepati, bukan hanya ingin agar dirimu mengerti, tapi agar dirimu benar benar mengerti. Dengarkan lah hanya jika dirimu ingin mendengarkan, pejamkanlah agar dirimu benar-benar ingin melihatnya. Ini lah kata-kata itu, yang kuharap mampu mengatakannya kepadamu

Janji

Terbuat dari apa malam itu? Dari indah yang kubiarkan begitu, dari risau yang mencoba menyusup ke dalam benakku. Lalu, apa lagi yang kuanggap menyenangkan saat itu, selain membiarkan secangkir kopi menguapkan aromanya memenuhi semesta pikiranku? Semerbak tembakau yang terbakar seakan tidak mampu menenangkan jiwa yang resah, pun rindu tidak mampu menjinakan liar pikiran yang tak kunjung berlalu. Untuk apa hidupku ini? Mengapa aku ada di sini saat ini? Mengapa tidak diriNya biarkan semuanya menjadi sama, seperti apa yang disabdakanNya melalui tutur katanya. Kenapa harus dibiarkan mereka yang seakan hanya ada untuk membuat apapun menjadi buruk. Mengapa Dirinya membiarkan mereka yang tidak berdosa lahir di antara mereka yang tidak tunduk padanya. Oh, benarkan Dia ada?  Atau hanya karena manusia tidak tau apa yang sebenarnya, hingga muncul lah apa yang menenangkan bagi jiwanya. Berbentuk seperti Tuhan yang dikatakan berkuasa, berkuasa atas ketidak mampuan manusia untuk menjabarkan atas segala tanyanya. Benarkan semua ini adanya? Benarkan bahwa aku ini ada? Dan lelah akhirnya mau membelaiku, dalam dekap lelap yang pekat.

Guguran dedaunan tertiup lembut oleh angin milik penghujan yang akhirnya datang. Sementara remang lampu jalanan tidak hanya menerangi aku dan dirinya yang bertemu karena terikat janji, tapi juga peluh dan lelah atas kenyataan bahwa semua ini lah adanya. Entah mengapa, tidak perlu dirimu mengetahui omong kosong yang terdengar seperti sabda dari dirinya, bahwa dirinya memang begitu, merasa harus untuk menuruti perintahnya, mereka yang dirinya cinta, yang menginginkannya, untuk bisa menjadi keluarga, entah dengan kalangan anjing jalanan mana, aku tidak tau, sungguh aku tidak ingin tau. Namun itu lah kenyataannya, perpisahan tidak hanya menimbulkan jarak, tapi juga sesal yang memabukan bagai arak. “Oh sandaran hati, biarkan aku marah dalam dekapMu, jelaskan mengapa harus seperti ini caramu”, jeritku kepadaNya.

Seakan ingin membuat semua baik-baik saja, kuletakan kepalaku dengan apa yang kuinjak, kubiarkan diri ini bersimpuh sebagimana yang diajarkannya. Dan hidup terus berputar diiringi waktu yang semakin lama semakin melebar. Marah itu tetap ada. Sesal itu seakan tiada tara. Dan kesenangan adalah apa yang menjanjikan. Dan mencoba adalah apayang seharusnya dilakukan, kata mereka, yang tetap baik-baik saja tanpa perlu mempercayai keberadaanNya. “Maka, jika benar diriMu ada, biarkanlah aku melakukan apa yang aku mau. Dan jika benar diriMu mencintaiku, maka rangkul lah aku ketika sudah datang waktunya. BUAT AKU PERCAYA PADA DIRIMU, SETIDAKNYA BANTU AKU UNTUK BISA.” Ratapku pada apa, pada apa pun aku tak tau.

Dan semua menjadi tenang, ini lah bahagia yang terlihat nyata. Terbang melayang bersama bintang, tertawa dan berputar bersama binatang-binatang. Semua menjadi mudah, pundi pun menjadi lemah dihadapanku. “Aku adalah Tuan atas diriku sendiri. Siapalah engkau memerintahku, bahkan mereka yang mencintaiku membiarkanku bertindak sesukaku.”. Maka agung lah aku, terjilat oleh mereka yang mengharap kasihku. Kuberikan kasihku padanya, dirinya yang dianggap gila pada masanya.

Lihat itu, mereka yang fanatik pada apa yang terlihat menarik, membuatku terpingkal dengan segala akal. Lelah adalah apa yang membuatku terdampar, mengingat apa yang selama ini sudah kulakukan. Dan diam datang menemuiku, mrnyajikan hampa yang tanpa kusadari terus mengikutiku. “Kamu shooting sampai tanggal berapa? Kalau pulang lebih cepat bisa ga? Nanti mamah yang ngomong deh sama mamang.”, kata-kata itu sontak menyadarkanku, bahwa ini adalah rasa takut itu. Untuk apa akj ke sana, di saat semua berjalan baik-baik saja, seakan tidak ada lagi hal yang tidak berguna yang bisa aku lakukan di sini, seperti saat aku mengingat dirinyayang pergi meninggalkanku dulu, dulu sekali, seakan tidak pernah ada di dalam hidupku.

Dan itu adalah harinya, di saat aku pergi dengan tujuan berwisata, setidaknya seperti yang dikatakam dirinya yang sudah pernah pergi ke sana. Ya, ke sana, ke tanah katanya dirindukan, ke tanah yang dijanjikan terpelihara. Maka beranjaklah aku dari dudukku yang nyaman di waktu itu, ke tempat yang akan menjemukan untuk beberapa waktu, membayangkan hanya diam duduk bersama buku, menunggu saat untuk sampai pada yang dituju.

Masuklah aku, dan duduklah kembali bersama mereka terlihat yang tidak lagi dapat menunggu. Kusematkan yang akan menghantarkanku pada lelap dan terpejam lah mataku. Terdengar lantunan nada yang mengayun, menghanyutkan, maka hanyutlah aku. “Mengapa aku di sini? Untuk apa aku di sini? Hening, semua diam, tersisa aku dan sunyi yang tetiba datang mendekapku. Sesak menjalari sekujur tubuhku.”Mengapa semua diam? Ke mana semua yang tadi bersamaku? Mengapa tidak bisa kugerakkan apa yang berada pada kuasaku? Mengapa tidak bisa aku berucap sepatah katapun? Ini kah jawabanMu?

Di sana, selepas tawaf wada, di Multazam yang penuh sesak, bukankah aku harus menahan himpitan mereka yang ingin merapat, menggantikan aku yang menjaga nenekku menangis mendoakan anak cucunya? Mengapa aku merasa lapang? Mengapa tidak perlu banyak tenaga untuk tetap berdiri tegap? Mengapa semua tetiba terulang, semua apa yang ku lalui, semua yang pada akhirnya membuatku pernah marah. Mengapa air mata ini keluar tak dapat dikendalikan? Mengapa rasa sesal ini memenuhi hati hingga semakin malu kepadaNya? Tuhan, ini lah jawabanmu, aku menyerah, tuntunlah aku dengan caramu yang indah.

Waktu pun berlalu, seiring dedaunan yang membusuk demi daun baru yang merekah. Tenang adalah yang aku pilih, dan hanya berdamai yang akan mendatangkannya. Kuhadapi diriku sendiri, kumaafkan dirinya yang pernah marah, sebelum aku datang kepada seseorang yang pernah kucinta, untuk meminta maaf dan memaafkannya karena pernah bertingkah semaunha. Dan hanya jika dirimu ingin tau, kudapati dirinya masih bersamanya, bersama dengan siapa yang tidak kutau mengapa dirinya bersamanya, yang kuyakin bukan dia yang dikatakan harus bersamanya, dulu ketika kami berpisah. Apa peduliku? Dirinya telah memilih untuk bersama dengan apapun yang dirinya inginkan. Pun aku kini telah bersamanya, wanita yang kurasa bisa membuatku begitu, seperti aku yang dulu, jatuh hati sebagimana ibuku melakukannya padaku. Namun nyatanya tidak seperti yang kuduga, dan aku tidak dapat mengubah masa lalu, baik miliku ataupun miliknya. Kucoba terima dirinya apa adanya, namun kecewa adalah yang kudapat karenanya, di saat aku ingin mencoba menerimanya. Maka siapapun dirimu, biarkanlah aku terus memilikinya, yang kukatakan sebagai inginku sebagai hal mendasar yang harus dimiliki wanita yang akan menjadi ibu dari anakku, yang akan menjadi lebih indah dari bidadariNya, yang mempersembahkan kesuciannya hanya kepadaku yang akan berusaha menjadi imamnya.

Aku rasa kini aku sedang jatuh cinta. Haruskah aku membuktikannya? Atau biarkanlah aku membiarkannya, entah harus bagaimana, yang kutau kau pun merasakannya. Buatlah dirimu merasa senang, wahai Senja, karena kurasa Tuan Tuhan membuat dirimu ketika dirinya sedang tersenyum

Djakarta, 30 oktober 2015
AFS

De Javu

Oh, harum yang mengingatkan, bagaimana lagi harus aku menampiknya, ketika aku telah membiarkan, diriku hanyut dalam indahannya?

Oh, dingin yang menghangatkan, ke mana lagi harus aku menyembunyikannya, di saat bayangnya selalu ada mengikutiku, seiring kasih yang larut dalam cahayanya.

Wahai, Bulan yang cantik merona, bukankah dirimu adalah Bulan, yang tetap cantik bagaimanapun kami bertindak sesuka hatinya. Tidak nampaknya dirimu karena awan ataupun asap, tidak sedikitpun mengurangi kecantikanmu, pun bukan berarti dirimu tidak lagi ada.

Wahai, jiwa yang ingin meredupkan Bulan, tidakkah engkai tau bahwa sia-sia adalah apa yang kau pilih untuk dilakukan. Karena dirinya adalah bulan, yang dengan mudah kau hilangkan hanya dengan menutup mata, atau hanya dengan menganggapnya tidak ada. Belum kah kini kau menyadarinya bahwa bisa kau menjadi yang juga memantulkan sinarnya yang tak terkira tanpa harus menjadi yang paling benderang, tanpa harus meredupkan yang lainnya?

Selamat malam, Senja. Semoga benar ini adalah sebuah doa, jadikanlah diri kami ini tetap menjadi yang kedua, meski tak sanggup membalas Tuan yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang.

AFS
Pada Oktober milik 2015

Nirmana

Oh, aku rindu. Rindu pada aku yang merindu. Namun itu dulu, belum lama berlalu.

Oh, aku rindu.
Yang tertuju padamu.
Oh, aku rindu.
Rindu yang menggebu.

Oh, aku merindu. Merindukan siapa, yang kini aku rindu. Bahkan belum lama berlalu, saat bertemu dengan yang kurindu.

Biarkanlah aku merindu.
Jangan dirimu merasa terganggu.
Setidaknya sampai hari itu.
Untuk akhirnya kubiarkan berlalu.

Astana

Dan engkau hanya akan tau ketika dirimu benar-benar tau. Meski nyatanya kau hanya akan mengerti, lalu mungkin lupa, ketika dirimu mengenalnya. Ya, ini lah rasa itu, yang mengenalkanmu pada apa yang kau kira mengenalnya. Yang selalu membuat ku malu karena pernah merasa mengenalnya.

Maka, izinkan lah aku mencium surgamu, Tuan, jika tak layak aku mendekati singgasanamu. Atau biarkanlah aku membiarkan diri ini mengimani apa yang kan kubawa pergi.

Selamat malam, Senja, reduplah bersama teduh yang kau pilih, yang kan selalu menenangkan dirimu.

AFS
IXXIIMMXIV

Vantros Breska

Semoga ini bukan pembenaran, melainkan sebuah pengakuan bahwa diri ini adalah manusia seutuhnya. Sama seperti dirimu dan mereka. Namun tidaklah banyak yang ingin aku ucapkan, karena sebenarnya aku lebih memilih untuk hanya diam. Meski nyatanya aku kini sama sepertimu, menggugat selain diriku. Persetan dengan segala pikirmu, semua lakumu hanya Tuanlah yang tau. Namun menurutku, semua sanggah yang terlontar hanya takkan berarti ketika tanah ini bergetar. Bahkan seorang ibu yang telah pergi jauh jatuh ke pada apa yang selalu diinjaknya takkan mampu menyelamatkan kasihnya yang lupa siapa dirinya. Atau mungkin kita semua sama dengan apa yang dipersamakan dengan apa yang kita anggap sama. Sudahlah, lebih baik aku diam, dari telingamu. Meracau hebat di telinga diriku yang lain, yang tak henti kugugat dan menggugatku.

AFS
09122014

Streamline

Woy anjing. Belum tidur lo jam segini.

Hahaha ari sia nanaonan euy? Rek geulut jeung aing, hah?

Eh, sianjing, ditanya malah ngajakin ribut.

Sieun sia ka aing?

Eh bangsat, kenapa lo emosian gini?

Teu nanaon aing mah. Ai sia aya naaon ngageroan aing?

Iseng aja, anjing! Hahaha. Gw abis ngobrol sama Tuan barusan.

Kunaon kitu? Ah sia mah kitu-kitu wae, teu kamamana.

Ya, lo aja masih kaya gitu. Buktinya bener apa yang tuan bilang.

Naon kitu?

Ya, manusia itu selalu lupa bahwa dirinyaa lupa. Sampai dirinyaa ingat.

Hahahaha asu sia mah. Nyindir aing?

sianjing, diingetin malah gitu.

Hahahaha, da nya heeuh. Kumaha deui atuh.

Ya terima aja kalo lo baru aja inget abis lo ngerasainnya.

Anjir, nyeuri euh. Tapi nikmat da. Da sia teh dengekeun sorangan lin?

Nah itu dia, makanya kurang-kurangin deh.

Naon anjing? Hahahhaa hese euy, sigaa lain aing upami tos kitu deui.

Ah alasan. Sama aja anjing, lo, gw, dia, dan mereka tuh, kita!

Hahahahhaahaha teuing ahh. Urang mah rek janten bangsat we.

Gih dah kalau emang bener mau.

Hahahaha, engke lah, upami khilap.

Hahahahahhaha sianjing!!!

AFS
09122014

Saka

Tau kah kamu, bahwa dirimu meninggalkan apa-apa yang kau tinggalkan. Semua itu sontak membangkitkan gairahku seakan ketika aku bersamamu. Kenangan-kenangan itu seakan setia menemani ingatanku akan tiap resahmu. Memang aku tak berguna, bagimu, menurutku. Namun, hadirmu jelas mampu menengahi bimbangku. Ke mana lagi harus ku cari kalian yang kupanggil mereka yang mampu meredam liarku? Maka biarkan lah aku kembali liar, dan buas di alamku, yang tak lagi sama dengan milikmu.

AFS

02122014

Repeated

Harus berapa kali ku katakan kepadamu agar dirimu mau tuk menerima dirimu yang mengerti?

Sudahlah, kau hanya bisa mengatakannya tanpa bisa membiarkan diriku dengan urusanku sendiri.

Dirimu hanya menginginkan rasa itu.  Dirimu sengaja membiarkan dirimu berada pada posisi itu. Sunggu licik dirimu.

Apa bedanya dengan engkau, hah? Kau bahkan bukan hanya tidak bisa memahami tapi juga mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang kau inginkan hanyalah merasa aman.

Ya, mungkin benar aku begitu adanya. Mengininkan rasa aman itu. Sengaja membiarkan diri ini berada pada kondisi yang entah ku buat begitu atau mungkin ku biarkan begitu. Ya, aku sadar hal itu. Namin diri ku berani mengakuinya tidak seperti dirimu.

Haruskan aku menegaskan bahwa aku ini buruk sama seperti engkau? Sudahlah, jangan camuri urusanku saat ini. Biarkan aku sendiri dan biarkan aku membiarkan kau sendiri.

Baiklah, Tuan. Inginmu adalah milik ku. Semoga kita tidak lupa untuk saling mengingatkan bahwa kita ini lebih sering kali lupa bahwa kita ini lupa pada apa-apa yang tidak kita ingat.

AFS
08092014

Tentang Senja.

Ini bukan derita. Apa lagi sebuah drama. Ini hanya lah sebuah cerita, tentang aku dan dirinya, yang kusebut Senja. Di mana kan kuletakkan sandarku kepadanya. Di saat ku katakan semuanya. Ya, dialah senjaku.

Pernah dirinya berkata, “Hawai senjaku. Aku adalah senja. Yang selalu siap mendekapmu yang lelah. Yang akan menemanimu sebelum datang malam kelam. Yang akan kau tunggu setiap pagi menjelang. Ya, engkau lah senjaku.”

Lalu berkatalah aku kepadanya. “Dengarlah, Senja. Tau kah dirimu bahwa aku ini sebenarnya adalah Malam. Yang selalu siap menusukmu dengan dingin hingga tulang. Yang akan kau hiraukan dengan tidurmu hingga pagi menjelang?”

Diamnyalah membuatku tersenyum kepadanya. Diam yang selalu membuatku tak bisa hanya diam. “Kau tau? Dengan dinginku kucoba mengingatkanmu arti dari hangat. Hangat yang kau dapat ketika mentari menyapa. Hangat yang kudapat sebelum kau membuka mata.”

“Hangat seperti yang kudapat ketika melihatmu tak acuh padaku?” Tanyanya kepadaku.

“Hanya jika kau tau, memanglah aku begitu.”

“Mengapa kau tega memperlakukanku seperti itu.”

“Hanya sebelum aku mengenal sebenarnya dirimu.”

“Dan juga setelah kau mengetahui sebenarnya aku?”

“Mungkin begitu meski nyatanya aku tak mau.”

“Aku tak mau kau mau untuk mau.”

“Hanya benar dirimu mau tuk membiarkan dirimu begitu.”

“Semau dirimu menjauh dariku?”

“Dan juga dirinya yang pernah ada dalam hidupku.”

“Kau biarkan berlalu, hingga nanti ingat menemuimu.”

“Dan juga dirimu yang seperti itu.”

“Aku ingin melayanimu.”

“Layanilah apa yang menjadi Tuanmu.

“Kau memang bukan Tuanku, namun aku ingin melayanimu, Senjaku.

AFS
30082014

Tuan dan Nyonya

Kepada
Tuan dan Nyonya
Di
Singgasananya masing-masing

Selamat malam, Tuan dan Nyonya. Sebelumnya aku meminta maaf kepada kalian karena telah lancang dengan berani berbicara dengan kalian. Namun, ini lah malam itu, Tuan, Nyonya, tidak ada yang mampu mencegahnya datang untuk meneduhkan tak hanya jiwa-jiwa yang renta namun juga hati-hati yang terlalu tinggi ditempatkan.

Sebenarnya aku tidak perduli jika benar kalian adalah mereka yang hanya ingin mendengarkan apa-apa yang menyenangkan hati baginya. Pastilah kalian tau pada akhirnya, bahwa aku adalah orangnya yang tidak perduli ada tidaknya telinga yang mendengarkan ucapnya akan terus bicara tentang apapun yang ingin kusampaikan, entah pada siapa, kurasa kini pada kalian berdua. Tertawalah melihat aku yang menangisi kalian yang semakin tua, namun nyatanya kalian terlanjut lebih tua daripadaku yang tak lagi mengingini apa-apa yang kurasa kalian ingini, yang terlanjur tau bagaimana semua ini bekerja, yang terlanjur menyadari untuk apa diri ini ada.

Mungkin ini hanya tebakanku belaka, yang tak lebih tepat dari pada sekedar permainan tebak-tebak buah manggis. Tapi kukira kalian ini terlalu serius menjalani hidup, yang sebenarnya hanya senda gurau belaka, yang menurut orang bijak hanyalah persinggahan semata, sehingga kalian lupa untuk apa kalian melakukan apa yang selama ini kalian lakukan. Ya, mungkin benar bahwa kalian menganggap inilah yang benar hingga kalian melakukannya. Tidak mengapa, Tuan, Nyonya, asalkan kalian merasa tenang, benarlah adanya yang kalian lakukan, entah bagaimana kebenaran yang sebenarnya.

Aku pun tau, Tuan, Nyonya, mudah saja bagi kalian melakukan apa saja pada apa yang menjadi kuasa kalian, tapi aku pun tak lupa bahwa kalian bertanggung jawab pada apa yang kalian katakan sebagai yang kalian kuasai. Salahkan aku jika menginginkan damai yang kalian ciptakan dengan memaksaku untuk sesuai dengan keinginan kalian? Jika kalian katakan bahwa itu adalah amanah, maafkan aku jika yang kutau bahwa kurasa kalian telah lengah dan tak amanah. Haruskah aku yang hina di hadapan kalian membeberkan apa-apa saja yang seharusnya kalian lebih mengetahuinya? Ah sudahlah, sebentar lagi itu bukan urusanku.

Tuan dan Nyonya yang kuharap tidak seperti yang kuduga, terima kasih banyak atas semuanya. Setidaknya terima kasih telah mengajariku untuk tidak menjadi seperti kalian.

AFS